semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Kuasa dan Puasa

Mungkin banyak di antara kita yang bertanya-tanya, dalam hati, dalam gerutu di warung kopi, dalam perbincangan biasa dengan sahabat, ada apa dengan puasa kita saat ini?
Kehidupan puasa kita seakan-akan diganggu oleh hantu, yang tak lain berasal dari diri kita sendiri. Hantu itu, mengusik kita lebih banyak melalui media sosial, seperti whatsApp, atau pun facebook, sering juga kita mendengar melalui obrolan politik warung kopi yang bising.
Memang, agak sulit memisahkan antara nafsu kehidupan dunia, lebih-lebih nafsu akan kuasa dengan perintah agama berupa puasa, yang identik dengan pengekangan hawa nafsu.
Kita menahan lapar dan dahaga, menjalankan ritual shalat, bahkan menjadi demikian rajin ke mesjid untuk merasakan aura keummatan. Tapi, di sisi lain, kita tampak semakin garang dalam berkata-kata, kian tak peduli antara apakah yang kita sampaikan itu keliru, bahkan, puasa tidak membuat kita semakin dekat dengan sesama manusia.
Puasa, yang secara filosofis berarti pembebasan kita dari ketergantungan pada hal-hal yang bersifat materi. Menjadikan kita bebas dari rasa lapar, bebas dari keinginan-keinginan duniawi. Puasa yang berarti sebagai latihan disiplin tubuh, yang memiliki tujuan jangka panjang agar tubuh kita dapat bekerja dengan baik selama 11 bulan ke depan. Seakan-akan tak berdetak di hadapan hasrat kuasa.
Kuasa pun mengalahkan puasa. Puasa pun boleh jadi dipolitisasi sebagai momentum untuk bergerak, melawan imajinasi kesewenang-wenangan, ataupun kecurangan. Ummat pun terkurung dalam bayang-bayang Islam Politik, bahwa Ummat Islam harus berdaulat, memegang tampuk kekuasaan, meski, dan berkoalisi dengan kelompok-kelompok yang cendrung ke fasis.
Bayang-bayang itupun diangkat dan dinarasikan ulang oleh ulama-ulama dengan nada garang, nada emosional, seakan-akan kondisi ummat sedang berada dalam kondisi kritis, dan harus segera dibangkitkan kembali. Mereka pun memancing ummat dengan pertanyaan; kenapa ummat Islam yang begitu dominan secara jumlah, tapi begitu lemah secara politik.
Pancingan lainnya melalui narasi-narasi yang membangkitkan ketakutan ummat Islam pada ancaman, seperti pada Cina, terhadap kaum kafir, terhadap PKI. Pun akhirnya, segala informasi yang tampaknya menyudutkan Islam ditelan mentah-mentah, bukan hanya itu, dengan tanpa curiga juga ikut-ikutan menyebar informasi tersebut.
Ummat pun akhirnya terkecoh, dan tiba-tiba ikut arus hijrah politik, mengangkat simbol-simbol Islam, sembari menjelek-jelekkan segala sesuatu yang tidak berbau Islam, bahkan melakukan aksi menjatuhkan pemimpin non Islam di Jakarta. Islam Politik ini pun secara perlahan menciptakan separasi dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu kita dan mereka. Kita yang Islam atau yang membela Islam, dan mereka yang bukan Islam dan yang tidak membela Islam.
Islam Politik ini pun berhasil menjadi hantu gaya baru bagi penguasa. Dan tetap berpotensi untuk merongrong terus-menerus legitimasi penguasa yang sah secara politik demokrasi.
**
Puasa, sebagai ibadah wajib Ummat Islam mestinya menjadi ruang dan waktu untuk berefleksi, untuk melihat kembali esensi dari keberislaman kita di Indonesia. Seperti apa mestinya ummat Islam dalam bersikap, dalam bergaul sebagai warga Indonesia?
Harapannya, latihan menahan hawa nafsu ini, mengangkat jiwa, yang turut menjernihkan cara pandang kita. Sehingga, kita bisa mengolah kembali, karakter keber-Islaman kita. Bahwa Islam adalah jalan keselamatan, islam adalah kedamaian.
Seperti kata Gusdur, "Agama mengajarkan pesan-pesan damai, dan ekstrimis memutarbalikkannya".






0 komentar:

Kuasa dan Puasa