semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Anak-Anak Alor dan Cora Du Bois

Anak-anak selalu menyertai, baik anak sendiri maupun anak-anak yang berada di lingkungan sekitar. Kebetulan kami berada di area yang cukup melimpah anak-anak, yaitu Pantai Kadelang, Kalabahi, Kab. Alor. Setiap hari saya berpapasan dengan anak-anak, beberapa di antara mereka sering masuk ke rumah, untuk bermain-main dengan Ahimsa dan Ashim. Mainan Ahimsa berhamburan di ruang rumah kami, yang tak ada kursi di situ, sehingga anak-anak bebas berlarian.


Sebelum masuk ke rumah, jarang kami lihat mereka menggunakan sandal, sehingga istri saya dengan menahan nafas menyapu kembali setelah anak-anak tetangga pergi. Saya perhatikan kembali, ternyata orang dewasa juga gemar berjalan tanpa alas kaki. Anak-anak di sini memiliki sopan santun kepada orang dewasa, yang jika berpapasan memanggil dengan sapaan ‘paman’ dan bagusnya memiliki rasa sayang kepada anak-anak yang lebih kecil. Ahimsa cukup terkenal di lingkungan ini, hampir semua anak-anak mengenal Namanya. Jika ia terlihat meski dari jauh, anak-anak yang lain memanggilnya, “Acaaa”, sambil tersenyum atau melebarkan bibirnya hingga tampak gigi-gigi mereka.

Sepertinya, anak-anak laki-laki maupun perempuan sama-sama aktifnya. Anak-anak perempuan tak dikurung di rumah, ia bebas bermain kejar-kejaran, main ayunan, mencari kerang dan rajungan di pantai pada saat surut/meting, dan bagi yang agak dewasa ikut bermain kartu. Mereka berkomunikasi cukup baik, apalagi ketika kumpul-kumpul sore, anak-anak bersama orang dewasa sama-sama ributnya. Orang dewasa tampak pula menyimak komentar anak-anak, atau selalu seperti komentar-komentar mereka saling berkejar-kejaran. Kami biasanya pasif saja, mendengarkan sambil tertawa jika ada komentar yang lucu.

Pada pagi atau sore hari, ketika kami duduk-duduk atau sambil menemani Ahimsa mencari kerang di pasir, anak-anak suka mandi di laut, khususnya pada saat air pasang. Biasanya mereka mandi-mandi setelah pulang dari menangkap ikan bersama orang dewasa, sebelum naik ke darat atau anak-anak memegang waring dan bersama-sama memerangkap ikan. Tubuh mereka lebih liat, staminanya oke, dan jika betul-betul diarahkan, memiliki kemampuan kognitif yang baik dan bisa dengan cepat menyerap hal-hal sulit, mengingat semboyan, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, jika jiwa sehat, hal-hal yang rumit dapat dicerna dengan mudah.

Suatu waktu saya ke Pulau Buaya, di pulau ini tak ada air tawar. Mereka memperoleh air dari pulau seberang atau mengandalkan air hujan. Saat itu, rombongan kami tiba jam sebelas siang, anak-anak betul-betul ramai mandi di pantai, yang saat itu betul-betul terik. Setelah ditelusuri, itu cara orang di sana beradaptasi terhadap gerah, mandi menjelang siang sembari bermain-main, kemudian naik ke darat dengan satu atau dua gayung air tawar. Saya bertemu dengan Darmawan, teman kenalan di Alor, dia anak Pulau Tereweng, menurutnya begitulah cara anak-anak beradaptasi terhadap terik dan tidak adanya air tawar.

Sembari mendampingi donor trip WWF-Indonesia saat itu, kuperhatikan pula beberapa anak yang masih terbilang bayi tidak mengenakan busana, pada badannya menempel butiran-butiran pasir, dan rambutnya tampak kusam, dan pada wajahnya terdapat sisa cairan ingus yang mengering. Tampaknya itu pemandangan lazim untuk sebuah pulau dengan krisis air, dengan kegiatan ibu-ibunya sehari-hari menenun kain, dan ayahnya bekerja mencari ikan. Anak-anak pun turut beradaptasi.

Terkait dengan anak-anak ini, ada seorang antropolog berkebangsaan Amerika Serikat yang betul-betul mencatat kebiasaan anak-anak Alor, sejak dari masa bayi, khususnya anak-anak di perbukitan Atengmelang/Atimelang, pada 1938, Namanya Cora Alice Du Bois. Cora dibiayai oleh Social Science Research Council of Columbia, yang saat itu menetapkan Alor di bawah pemerintahan Hindia Belanda untuk riset Psychoanalytic Society berdasarkan pemikiran Dr. Kardiner. Mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam suatu masyarakat. Seperti apa pengkondisian masa kanak-kanak untuk pembentukan nilai-nilai, tujuan atau disebutnya struktur dasar kepribadian. Cora Du Bois memaparkan hal itu dengan sangat baik di buku “People of Alor – A Social-Psycological Study of An East Indian Island” yang dicetak oleh The University of Minnesota Press, Minneapolis. Saya tidak akan bercerita panjang mengenai pokok-pokok pikirannya dalam buku itu, tapi mencoba mencuplik seperti apa Cora menggambarkan anak-anak di Desa Atengmelang, Alor.

Saat tiba di Alor, ia belum begitu mahir berbahasa Belanda, pun ia lanjutkan pelajarannya dengan bertemu-temu pejabat administratif Hindia Belanda yang hanya berjumlah delapan orang. Sementara Bahasa Melayu ia pelajari dari Ali, asisten yang ditugaskan untuk mendampingi, ia pun menggunakan kedua Bahasa itu dalam keterbatasan dan keanggunan. Kedatangannya di Alor pun mengharuskan ia menguasai satu Bahasa lagi, yang waktu itu belum ada dalam bentuk tertulis, yaitu Bahasa Abui. Ia betul-betul harus beradaptasi dengan Bahasa ini. Untung saat itu ia ditemani oleh Fantan, penerjemah Bahasa lokal ke Bahasa Melayu. Abui saat itu dipakai untuk menyebut diri mereka secara berbeda dengan masyarakat pesisir.

Selaku tamu, orang Atengmelang membangunkannya rumah, ketika rumahnya tegak, mengharuskan diadakan penyembelian dua ekor babi dan seekor kambing, disertai pesta dansa yang berlangsung sepanjang malam. Kepala Suku pun mulai mempertimbangkan nama yang cocok bagi Cora, diputuskanlah sebuah nama yang aneh tapi nyambung, yaitu Hamerika/Humerica, karena ia berasal dari Amerika. Di Abui, nama ini akan berari Merica, yang artinya “milikmu”, suatu bentuk penghormatan dari kepala suku. Di kampung itu ia membuat sampingan harian dengan membuka klinik. Ia pun mendapati pasien-pasiennya dengan penyakit beragam, seperti bisul, luka luar, demam, frambusia, dan infeksi. Ia memperkenalkan penanganan modern, dengan membersihkan luka, memberi minyak jarak dan aspirin, serta membagikan kina (untuk antisipasi malaria).

Bagaimana Cora Du Bois melihat anak-anak? Menurutku sangat detail. Mengenai anak-anak, Cora menjelaskannya sejak ibu mengalami kehamilan, yang diliputi banyak mitos, seperti Wanita hamil tidak boleh meletakkan panci baru di atas api, karena nanti anaknya lahir dengan bercak pigmen yang lebih gelap. Ia pun hanya boleh memakan perut tikus yang sebenarnya kurang diinginkan, jika ia memakan bagian depan ataupun belakang, dikabarkan anggota badannya anaknya jika lahir akan menyebar seperti tikus. Seorang pria yang istrinya sedang hamil, tak boleh meluruskan panahnya, sebab mata anaknya yang satu ketika lahir akan berputar ke satu sisi. Menurut Cora, mitos-mitos ini menunjukkan rasa keintiman yang dalam antara orang tua dan anak, sekaligus sebagai penyangga bahaya.

Saat seorang bayi lahir, bayi itu dibungkus kain tenun atau kulit kayu yang paling lembut. Kain tenun ternyata sudah digunakan sejak hari pertama lahir. Dalam catatan Cora, ibu-ibu melahirkan tidak terlalu menunjukkan tanda-tanda kesulitan. Jika tampak sulit, para bidan akan melakukan pemijatan perut, menggaruk pinggang, hingga menyisir rambut. Sementara ayah, di minggu-minggu pertama, diminta untuk bermalas-malasan di rumah. Jika sang anak sakit, ayah pasti mengingat-ingat lagi pelanggaran apa yang telah diperbuat. Kemudian memetik daun di lokasi pelanggaran, mengakui kesalahan dan meminta jiwa anak hinggap ke daun, lalu Kembali ke rumah untuk mengusap daun itu ke kepala anak. Maka Kembali sembuhlah anak itu.

Pada minggu kedua, bayi akan menjadi pusat perhatian, cukup banyak orang berkeinginan untuk menggendong sang bayi. Dari pengamatan Cora, justru laki-laki muda yang banyak menggendong, bukannya gadis muda. Ini menunjukkan bahwa pria muda memiliki lebih banyak waktu luang. Dalam menumpahkan kasih sayang kepada bayi, ciuman belum dikenal, tapi berupa belaian pada tangan, kaki dan badan, serta gigitan yang merupakan tiruan dari aktivitas memakan. Menurut Cora, terdapat hubungan antara makanan dengan kasih sayang. Ini muncul dalam banyak konteks. Sementara untuk pengasuhan dalam hal pemberian ASI (Air Susu Ibu), seorang bayi dapat mengakses beberapa ibu menyusui untuk tempatnya memperoleh ASI.

Sebelum berjalan, anak-anak menghabiskan waktu banyaknya dengan duduk atau berbaring. Pada masa itu, sang anak tidak boleh menyentuh tanah, jika anak terlihat menyentuh tanah, sang ibu/pengasuh dianggap teledor atau tidak becus.

Dalam Pendidikan bayi, tidak ada hal khusus untuk pelatihan anak berbicara, kecuali pengulangan nama sang bayi, serta mendengarkan bayi dengan lagu-lagu. Sedangkan toilet training tidak begitu dianjurkan, orang dewasa tidak menunjukkan ekspresi marah ketika bayi mengotori selendangnya. Pengasuh tinggal mengambil daun atau kulit jagung untuk menyeka/membersihkan kotoran. Sedangkan pelajaran berjalan, tidak selalu harus dengan orang tua. Semua orang dewasa di kampung dapat mengajar bayi untuk berjalan. Sehingga, tentang ini, saya tiba-tiba mengingat sebuah pepatah, satu anak di kampung diasuh oleh seluruh orang dewasa di kampung itu.

Namun, dalam perkembangan berikutnya, menurut Cora Du Bois terdapat hal yang kurang memuaskan, dari segi penyediaan makanan. Ketika anak-anak sudah dapat bermain di luar rumah ketika sang ayah dan ibu pergi berkebun, anak-anak tidak disiapkan makanan yang cukup. Mereka kadang-kadang dapat makanan tambahan dari gadis muda atau nenek yang kebetulan bermurah hati. Ini menurut Cora dapat menimbulkan dampak psikologis/perkembangan ego ketika dewasa.

Soal makanan mendapat perhatian khusus Cora, sebab orang Atengmelang makanan jagung, kacang tanah, dan nasi. Semua itu dinilainya rendah protein. Sementara daging lebih pada daging suguhan dibandingkan makanan pokok. Ikan dan telur jarang dimakan. Sehingga, seorang anak-anak mungkin saja mengalami kelaparan (rasa hampa) atau kelaparan tersembunyi (malnutrisi). Tapi, mereka memperoleh vitamin dari makanan dan sinar matahari yang melimpah.

Terkait dengan anak-anak mandi. Cora mengamati anak-anak agak menderita dengan mandi air dingin. Orang tua biasa memandikan anak dengan menggosok-gosokkan tangan ke badan dengan cukup keras/kasar, hal ini tak menimbulkan protes dari sang anak. Kegiatan mandi ini tidak terlalu sering dilakukan atau hanya sekali dalam 2-3 hari. Hal menyakitkan ketika anak-anak sedang menderita Frambusia, sejenis penyakit kulit yang dapat menular lewat persentuhan dengan luka. Luka akan terasa sakit ketika terkena air dingin. Frambusia pada tahun 1930-an masih cukup umum di Alor.

Ada juga penjelasan mengenai tidur, anak-anak maupun dewasa biasa mengalami kekurangan tidur di malam hari, ketika ada anggota keluarga yang bermimpi, kemudian membangunkan anak-anak untuk saling berbagi cerita mimpi. Selain gangguan-gangguan lain, karena ada orang dewasa yang pulang tengah malam, atau anak-anak muda pulang pacarana jauh malam hari. Termasuk urusan seks orang dewasa, anak-anak tertanggu karena tidak adanya sekat antara tepat tidur orang dewasa dan anak-anak. Sehingga anak-anak dapat saja menyaksikan adegan persetubuhan. Pun kegiatan masturbasi adalah kegiatan lumrah dan bisa dilakukan di tempat-tempat umum.

--

Cerita tentang anak-anak ini masih cukup panjang dalam catatan Cora De Bois, tapi kali ini cukup ini saja. Saya mencoba menerjemahkan buku People of Alor ini pelan-pelan hanya dengan fasilitas google translate. Meski begitu, terjemahan itu sudah lebih gampang dipahami. Namun, jika terdapat kesalahpahaman, saya memohon maaf sedalam-dalamnya. Semoga dengan pembacaan ulang buku People of Alor, akan lebih memahami lagi kebiasaan orang Alor di masa lalu, dan mencoba menemukan perbandingan dengan kehidupan orang Alor di masa kini, yang saya pikir pasti banyak perubahan.

Saya mendapat undangan dari Om Mobi Pada untuk berkunjung ke Atengmelang, katanya dia lagi fasilitasi pengembangan kopi di sana. Mantap itu, ini kesempatan bagi saya untuk mengenang-ngenang kehidupan dan catatan Cora Du Bois.









0 komentar:

Anak-Anak Alor dan Cora Du Bois