semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

2022, Tahun Mendebarkan dan Mengharukan

Tahun 2022 saya kira bagi banyak orang adalah pembebasan, setelah dikurung atau merasa di kurung dalam dua tahun sebelumnya. Perasaan bebas itu ditandai oleh mulai hidupnya pasar-pasar, mall-mall sudah menemukan kembali impiannya, kelimpahan dan kepadatan. Rasa takut akan virus mulai tertukar dengan optimisme, masker pun hanya di tempatkan dalam kantong celana, sesekali dipakai saat kepengen terbang atau memasuki gerbang.


Perasaan bebas dan menggebu-gebu ini mendorong orang untuk berkumpul, menyesaki ruang-ruang publik. Saya mengingat pada menjelang akhir 2020 dan memasuki tahun 2021 hingga pertengahannya, kami selalu mengadakan kegiatan penanaman mangrove di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Jumlah pengunjung selalu di luar perkiraan, meminta kami untuk mengeluarkan anggaran lebih untuk penyelenggaraan penanaman mangrove. Anak-anak muda rela bermain lumpur, berdesak-desakan di spanduk untuk foto, dan sudah begitu gembira memakan nasi bungkus dengan sepotong kecil ikan layang dan sepotong telur. Tampaknya, dunia media sosial yang luas itu terus menerus mengumbar keseruan, menarik orang untuk keluar dalam kesempitan rumah dan menikmati sajiannya.

Saya mengingat akhir 2021 itu, saya mengayuh sepeda ontel tanpa gir dari rumah kontrakanku di Gang Mesjid Agung, Tanjung Redeb ke Limunjan, Kec. Sambaliung, dengan jarak yang boleh di kata sekitar 10 kilometer, dengan beberapa tanjakan dan turunan. Bajuku basah kuyup pada malam itu, tiba di pinggir sungai untuk ikut bakar-bakar ikan. Di situ pula saya mulai akrab satu persatu dengan teman-teman pemuda atau boleh dikata sesama perantau dari Pulau Celebes. Itulah kenangan di hari pertama 2022, saya pulang agak tengah hari dari rumah Om Budi, sembari bersepeda santai. Tiba di rumah, badanku lagi-lagi basah kuyup.

Pada Januari, saya mengingat selalu menyempatkan waktu untuk duduk-duduk di Café 9/11, biasanya saya bersepeda ke sana, dan memesan café latte. Di situ, saya mengikuti induksi online untuk staff-staff baru. Situasi hangat matahari tidak mengganggu, apalagi jika saya sudah berkonsentrasi untuk menuliskan catatan hasil kunjungan tambak dan analisis mengenai kondisi budidaya udang di Pegat Batumbuk secara sekilas. Di tempat itu juga bertemu dengan kawan-kawan lama, di antaranya Muhajirin Al Fatih, Andys, dan kemudian Reza. Kami diskusi agak mendalam di sana, juga di café-café yang lain, seperti café Hitam Putih, IP Café, dan Z Café. Diskusi seputar mengaktifkan Kembali gerakan-gerakan pemberdayaan pemuda, serta menumbuhkan semangat kerakyatan. Tapi, apa daya, itu sekadar diskusi, di level aksi, kita terbentur di kebijakan organisasi, konflik-konflik kantor, maupun lebih mendahulukan orientasi untuk sekadar bertahan hidup.

Pada fase saling kenal mengenal itu, saya beberapa kali Kembali ke Maros-Makassar, pada 25 Januari 2022, adalah hari kelahiran anak saya yang kedua, yaitu Ashim Wafa Swadeshi. Jadinya saya ada sekitar 25 hari di Maros-Makassar, menikmati lagi Es Kopi Bakuteman, kopi pagi, dan juga jika di Makassar kopi Teori dan Kopi Oey, bersapa dengan beberapa teman, di antaranya Rizal Pauzi, Asra Tillah, Subhan Usman, Supratman/Pimen, Rahmat Zainal, Ariyanto Hidayat, Fuad Fathurrahman Irwan Yusuf dan Nizar Fahrezi. Pada titik ini saya agak kewalahan keuangan, karena harus menanggung terlebih dahulu biaya persalinan serta acara aqiqah Ashim. Nanti ketika di Berau, barulah pihak asuransi kantor mengganti untuk biaya persalinannya.

Pada masa singkat di Sulawesi itu, saya mencoba untuk melakukan penggalian kecil-kecilan, terhadap beberapa ketidakjelasan koordinasi dan manajemen. Di balik keruwetan-keruwetan yang muncul setelahnya, akibat dari keterusterangan saya, tak membuat saya menyimpan sesuatu yang jelek di hati saya, dan lebih menganggapnya sebagai suatu pelajaran hidup.

Pada pertengahan Februari hingga pertengahan Maret 2022, saya Kembali lagi ke Berau, dengan bertemu bebeberapa orang untuk melaksanaan semacam sensus akuakultur Berau. Sensus ini nantinya berlangsung sekitar tiga bulan. Di waktu-waktu itu pula mulai dibicarakan tentang pembentukan sebuah komunitas diskusi, kami menyebutnya BEYOND (Berau Youth and Discussion). Saya pun dibuat sibuk untuk pembuatan Term of Reference (TOR) beberapa calon konsultan/fasilitator lapangan di tiga kampung, dan seorang konsultan komunikasi. Di samping mencoba untuk mengeskalasi Beyond dengan mendorong diskusi-diskusi untuk pengembangan program/perancangan program, siapa tahu bisa berkembang layaknya Lembaga sosial.

Pada akhir Maret 2022, Kembali saya merasakan nikmatnya perjalanan jauh, dengan menempuh jalur darat dan laut, perjalanan Maros-Berau, ditempuh dengan waktu empat hari. Saat itu mobil avansa juga ditumpangi oleh Indra Adi Putra Salam dan Vabian Adriano. Keduanya menumpang, selain alasan keseruan saja, alasan lainnya untuk penghematan anggaran. Di empat hari itulah saya dapat melihat secara langsung kawah dan monceng moreng hutan Kalimantan, yang sudah dirayapi pepohonan sawit, dan dibotaki untuk digaruk, diambil bahan mentahnya untuk kebutuhan industri dalam negeri ataupun industri-industri negara maju, juga yang belakangan maju, yaitu China. Kita membabat hutan sekadar untuk menyiapkan santapan makan malam yang hebat.

Tiba di Berau, dihinggapi rasa senang karena bisa mengajak teman bermukim di sini, memperlihatkan tempat-tempat makan yang asoi, dan tempat nongkrong yang nyaman. Di samping dilumuri rasa cemas dengan malam-malam yang tak enak berbantalkan buku 33 Strategi Perang Robert Greene, Loonshots-nya Safi Bahacall dan The Greats Leadership-nya Jochelyn Davis. Pun karena itu, pada April pemuda-pemuda yang tergabung dalam komunitas Beyond mulai terhubung dalam malam-malam perbincangan aneh akhir pekan ataupun hari-hari biasa dengan penuh abu dan aroma kopi. Hingga disepakati pertemuan-pertemuan diskusi penulisan dan agenda-agenda makan ikan.

Berkumpul-lah kami di sekretariat Indecon, selama tiga minggu (satu hari dalam seminggu) berturut-turut diskusi tentang dasar-dasar penulisan, taksonomi bertanya, teknik fasilitasi, dan juga analisis sosial. Tampaknya, peserta menikmati pertemuan-pertemuan ini, mereka terlihat aktif dalam mengikuti sesi latihan menulis dan sesi diskusi.

Perkembangan berikutnya, kelas menulis ini pun diadopsi kembali oleh Lembaga Perkumpulan Perisai. Saya memancing diskusi sebanyak tiga kali pertemuan dengan cerita-cerita pengalaman lapangan, dan tools-tools berfikir dan menulis. Sembari ngobrol konsep penulisan, selalu diselingi dengan seloroh-seloroh, dan celetukan-celetukan mengenai metode pendampingan masyarakat yang dianggap ngawur.

Kembali ke dunia kerja, pada bulan-bulan itu, saya bersama beberapa teman melakukan kunjungan-kunjungan ke tambak di Batumbuk dan Tabalar Muara, untuk persiapan pengelolaan tambak. Juga ada satu pekan di Batumbuk untuk membantu pendataan pemetaan partisipatif ekologis. Saat-saat itu saya membangun hubungan yang intim dengan beberapa warga kampung, juga dengan fasilitator, mencoba mengenali kampung dari perspektif orang dalam.

Kami mempelajari rantai dan kualitas benur udang windu, kualitas lingkungan, rantai pasar, hingga terdapat beberapa kesimpulan-kesimpulan. Di masa yang indah ini, dipenuhi oleh semangat untuk menetaskan, rekomendasi tanpa aksi seperti ngobrol serius di pasar malam, jadinya kita melakukan ekspedisi-ekspedisi, secara tidak formal ke Kota Tarakan, melacak sumber-sumber benur yang baik, dan kemungkinan-kemungkinan pasar yang baik. Saat itu terdapat pemikiran jika harga udang dihargai dengan baik, juga dengan tawaran kualitas yang baik, pembudidaya akan dengan mudah untuk dinegosiasi dalam sumbang lahan untuk restorasi lahan bakau/mangrove.

Pun setelah itu, setelah saya Kembali lagi ke Kota Berau dengan membawa istri dan dua anak, terjadilah pergumulan-pergumulan baru dengan cita-cita, namun kurang mengenali resiko yang mengintip, sekaligus mengantar kita kemana-mana dan tidak kemana-mana.

Pada saat-saat itu, rasa-rasanya seperti keluar dari mulut harimau, terus terjun ke sungai, masuk ke mulut buaya, dan lepas lagi berenang ke laut kemudian ditelan ikan paus. Untung saja, pausnya muntah, dan akhirnya selamat keluar dari jeratan demi jeratan.

Jeratan pertama, kami berkenalan dengan seorang pengusaha mebel dari Balikpapan yang bakalan memberi modal bisnis udang, cerita demi cerita, cangkir demi cangkir, dengan hebatnya ia membangun narasi mengenai kekayaan, dengan apartemen pribadi, mobil, rumah mewah, serta gaya hidup, cukup mempesona, walaupun masih ada radar yang berkelap-kelip dalam hati. Ujung-ujungnya, ternyata kita berdiskusi dengan pengusaha bodong, hampir saja seluruh pengetahuan teknis, kepercayaan, dan jejaring diserahkan mentah-mentah ke orang ini.

Selamat dari situ, lanjut lagi mempercayakan ujicoba bisnis ke mitra sendiri, lagi-lagi, kita menempatkan dan mempercayai orang yang salah, sehingga jatuhnya menanggung rugi. Belum lagi suatu peristiwa naas, mesin perahu katinting yang saya tumpangi meledak pada 8 Juli 2022, kedua punggung kepal tangan, sebagian pada punggung kaki, dan sebagian muka saya tersambar api, membuat saya istirahat secara fisik, maupun dari segi manajemen.

Keberhasilan penggelondongan udang pun tak diikuti keberhasilan pembesaran udang, juga karena itu. Bercampur aduknya urusan teknis, kondisi lahan, manajemen dan tentu psikologi. Walau begitu, di bulan-bulan pasca turbulensi, saya sempat menerbitkan buku kedua pasca “Perikanan atau Perikiri?”, yaitu “Air Mati Perikanan”, buku ini sebagai penyegar, buku-buku ini saya bagi-bagi saja kepada orang-orang yang saya anggap cocok menerima buku ini.

Kegagalan-kegagalan itu, eksperimen-eksperimen itu menambah desas-desus, terdapat kesalahpahaman lantaran ruang diskusi yang terbatas, dan jarak pengalaman yang jauh dan berbeda, sehingga mendorong saya untuk pulang kampung, dengan segala konsekuensinya. Jadinya, saya pun akhirnya meninggalkan Berau pada 15 Oktober 2022, dengan bersama keluarga dan indra menempuh perjalanan darat Berau-Balikpapan, dan kapal veri untuk Balikpapan-Pare Pare. Nantinya menuju pulau baru, pulau harapan, yaitu Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Meninggalkan Berau, saya pun meninggalkan sahabat-sahabat, diantaranya Indra (mantan fasilitator di WWF Indonesia), Reza dan Saleh Al-Ali (Perisai), Sariadi Hamda dan Ilo yakin (Batu-Batu Ecovillage), kemudian cerita-cerita literasi diujung perpisahan, yaitu Kak Rustan Ambo Asse dan dukungan Daeng Iccank (Ketua IKA Unhas Berau), serta teman-teman WWF ID Berau, Irvan Ahmad Fikri, Kak Tika, Rio, dan Inayah.

Reza dan Saleh adalah teman ngobrol yang asyik di Berau, Indra adalah junior dan boleh dibilang sohib sependeritaan selama di Berau, Ari dan Ilo adalah orang-orang yang baik yang punya keinginan kuat melakukan perubahan besar di Berau, bulan-bulan antara Agustus-Oktober, kami terus menerus ketemu, ngopi, bermain kartu, diskusi bisnis dan ide-ide besar lainnya. Kemudian Kak Rustan, mentor penggerak literasi Berau, beliau mendorong kami untuk terus menulis, pun karena itu beberapa dari kami pegiat pesisir sedang berkalaborasi untuk membuat satu buah buku kompilasi tulisan pemikiran tentang perikanan dan kelautan Berau, semoga 2023 buku ini bisa terwujud. Salam hormat untuk kawan-kawan Berau, semoga bisa bertemu lagi. Terhitung masa kerjaku di Berau hanya sepuluh bulan. Sebenarnya tidak cukup untuk pengalaman kerja, tapi sudah lebih dari cukup untuk pengalaman hidup. Seperti kata Bung Karno, yang dibutuhkan tidak hanya pendidikan sekolah, tapi juga adalah sekolah kehidupan/School of Life.

Saya pun tiba di Alor pada Akhir Oktober, dan hingga hari ini dipenuhi keharuan, lantaran hidup di Alor menjadi lebih damai. Saya dapat lebih mengenali karakter manusia, lebih dekat dengan orang-orang dan lingkungannya, lebih mendalami kisah-kisah mereka dan budaya mereka. Semoga saja, Tuhan menganugerahi tahun 2023 ini dengan kualitas hidup yang terus menerus dibanjiri rasa damai, semoga saya dapat berbakti bagi Masyarakat Alor khususnya, dan Indonesia umumnya.
















0 komentar:

2022, Tahun Mendebarkan dan Mengharukan