Mammiri table
part II sudah sedikit lebih terarah dengan tema yang jelas, yaitu komunikasi
politik di era reformasi. Waktu itu (Sabtu, 23 Juni 2012) diskusi dipimpin oleh
seorang senior Unhas bernama Kak Rahmad M Arsyad, yang biasa kami sapa Abang.
Beliau saat ini sementara melanjutkan kuliah doktralnya di Universitas
Padjajaran, Bandung.
Kak Rahmad
kami kenal di kampus sebagai salah seorang tokoh mahasiswa pada tahun-tahun
2004 – 2007. Ia pernah memimpin salah satu organisasi paling seksi di dunia
kemahasiswaan, yaitu ketua Unit Kegiatan Pers Mahasiswa. Wacana-wacana kak
rahmad selain bergema di forum-forum, juga banyak bertebaran di media-media
kampus, termasuk di koran kampus identitas saat itu. Seusai kuliah, Abang
Rahmad aktif sebagai lokomotif penggerak salah satu calon walikota di Kota Palu
saat itu (Rusdy A Mastura). Dengan kejeliannya dalam berfikir, merancang konsep
dan membangun relasi, ia pun bersama organisasi yang dibuatnya, Idec, berhasil
memenangkan walikota. Sehingga dapat menorehkan catatan-catatan konsep buat
diterapkan di kota Palu. Ia tidak hanya berfikir dan berpidato, tapi juga
bergerak. Setelah itu, ia melebarkan gerakannya dengan membuat majalah yang
bernuansa bisnis, yaitu Investasi KTI. Majalah ini ia bangun bersama beberapa
anak muda, bersifat mandiri dan ideologis.
Kami pun
membuka forum dengan pengantar bahwa komunikasi terbangun atas dasar lingkaran
bahasa dan informasi. Informasi itu pun bersifat biner/oposisi, saling
menguatkan, dan terdapat landasan memori/metateks didasarnya. Ketika kita
mengucapkan merah, dalam kepala kita pasti ada warna lainnya. Ketika kita
menyebut kursi pasti ada benda-benda lain yang menguatkannya, seperti meja.
Bang Rahmad
memulainya dengan mengungkapkan bahwa komunikasi adalah pesan, baik itu dalam
bentuk verbal, non verbal, tulisan, lisan, mimik dan gestur. Segala sesuatu
yang menghasilkan pesan adalah komunikasi. Politik disebutkan sebagai cara
untuk mencapai tujuan atau kekuasaan (Machiaveli), sehingga komunikasi politik
adalah cara-cara mendistribusikan pesan-pesan politik.
Perbedaan
komunikasi politik waktu orde baru dengan orde reformasi adalah terletak pada
salurannya. Saat orde baru model komunikasi berupa one way komunikasi (satu arah) dan hanya berasal atau dipegang oleh
kekuasaan. Sementara pasca orba pola komunikasi bersifat terbuka.
Penyebab-penyebab perubahan, antara lain : pertama, asas politik sudah
bergeser, sumber distribusi kepentingan berubah, meski kaum elit tetap memegang
peranan. Kedua, mekanisme pemilihan/kepartian berganti, orang bebas mendirikan
partai dulu hanya tiga partai, itu pun dikontrol oleh penguasa.
Untuk melacak
saluran komunikasi politik ini ada beberapa hal yang harus ditandai, yaitu :
positioning, policy (kebijakan), person (pencitraan), partai. Penekanannya bisa
dengan beragam metode, bisa melalui tekanan (push) marketing terhadap
pencitraan, pull marketing, pass marketing ataupun melalui polling (riset).
Metode yang marak diterapkan saat ini yaitu dengan presentasi diri
(pencitraan), bisa dengan pemberian uang (uang sebagai representasi diri) atau
dengan memasang baliho/poster banyak-banyak (poster mewakili diri calon di
tempat itu. Tapi, metode yang paling tinggi tingkat kemungkinannya
(probabilitasnya) yaitu dengan pendekatan yang intens terhadap konstituen.
Semakin sering seorang calon berinteraksi dengan konstituen, kemungkinan untuk
terpilihnya ia sebagai wakil semakin besar (modal sosial telah terbentuk). Boleh
dikata, komunikasi sekarang menurut abang rahmad adalah komunikasi politik yang
mengalami proses hipersemiotik.
Kondisi
perpolitikan saat ini mengalami kemerosotan nilai, antara legislatif (Policy,
legislasi) yudikatif (ranah hukum), dan eksekutif (pelaksana) tidak jelas siapa
membicarakan apa, sebab konsep triangle ini tidak lagi berfungsi sebagai saluran,
termasuk saluran komunikasi. Konsep di Indonesia begitu kabur antara
presidensial atau parlementer. Partai-partai pun tidak begitu paham
konstituennya, sehingga terkadang pesan yang mereka sampaikan tidak lagi
diketahui pola-polanya. Bahkan boleh dikatakan bahwa pesan politik yang mereka
bawa tidak berdasarkan asas yang jelas. Tidak memiliki ideologi.
Sekarang,
saluran-saluran komunikasi lebih dikuasai oleh para pemilik modal, yang
biasanya berkalaborasi dengan partai-partai politik. Dengan begitu, secara
sistemik memang tidak lagi memberikan kesempatan kepada yang tidak memiliki
modal (material) untuk maju sebagai pemimpin. Padahal, yang seharusnya menjadi
pemimpin adalah para pemilik modal sosial dan budaya, bukan sekadar pemilik
modal ekonomi.
Partai pun
hadir hanya saat menjelang pemilu/kada, yang penunjukan person atau tokohnya
berlandaskan transaksi ekonomi. Sehingga pemimpin yang dimunculkan tidak
betul-betul lahir dari rahim kebudayaan masyarakat. Partai lebih sebagai
pelaku, tapi tidak lagi memiliki fungsi kaderisasi. Partai sekadar bertujuan
sebagai sarana untuk menyampaikan atau menghasilkan kebijakan-kebijakan
politik.
Nah, melihat
fungsi partai yang sangat urgen namun kehilangan asas ini, terdapat pula
kemandekan-kemandekan, seperti kendala jarak dan ongkos politik. Sebab, saat
ini partai politik ketika sudah terdaftar, maka pemerintah wajib untuk
membiayai partai tersebut. Partai-partai pun akhirnya menjadi beban negara.
Menurut Abang Rahmad, seharusnya partai-partai itu ditanggung oleh publik,
yaitu pihak-pihak yang merasa aspirasinya bisa tersampaikan melalui partai.
Salah satu
rumusan cara untuk membenahi prosedur kepartaian di Indonesia yaitu dengan
jalan menerapkan sistem federasi. Sistem ini menjadikan partai lokal memegang
kuasa penuh untuk daerahnya masing-masing. Sehingga ongkos politik lantaran jalur
kordinasi antara pusat dan daerah begitu panjang, bisa segera dipangkas. Partai
lokal tidak lagi mengurusi hal-hal yang bukan wilayah territorialnya.
Namun,
penerapan sistem pederasi ini masih membutuhkan kajian yang mendalam. Karena
tetap ada kekhawatiran bahwa para pemimpin lokal yang muncul tetap saja
menganggap dirinya sebagai raja-raja kecil, yang dengan leluasa memeras
rakyatnya.
Saat ini
berlangsung otonomi daerah yang dianggap representasi dari pola federasi, tapi
mekanisme desentralisasi ini tetap saja menimbulkan tanda tanya, sebab tetap
saja keputusan-keputusan penting berasal dari pusat. Dan pusat tidak
betul-betul mengetahui keadaan di daerah-daerah. Ini bisa dilirik dari
mekanisme pembagian anggaran di Indonesia, 60 persen anggaran berputar di
kawasan jabotabek, setelah itu baru daerah Jawa, sisanya yang paling sedikit
itulah yang disebar ke seluruh pulau di
tanah air.
Salah satu
kendala utama Indonesia mengalami kesulitan dalam pembagunan, sebab tidak
adanya data yang pasti tentang potensi atau nilai ekonomi daerah-daerah di
Indonesia. Sehingga, kita kesulitan untuk mengatakan bahwa suatu daerah itu
miskin atau kaya, sebab itu hanya persepsi dan tidak berlandaskan data-data
riil. Mungkin, belum ada riset mendalam tentang ini sehingga Indonesia tidak
memiliki sertifikat keuangan negara yang memuat nilai ekonomi masing-masing
daerah. Menanggapi hal itu, abang rahmad menganjurkan agar kita tidak terjebak
pada isu-isu makro, kita mestinya selalu berlandaskan riset, sehingga indikator
capaian perjuangannya jelas.
Diskusi pun
ditutup, kami lalu berbicara lepas. Katanya, kita harus menempatkan waktu kita
sesuai prioritas, semua bisa diraih tapi harus pelan-pelan. Dan kita harus mengabadikan
segala proses yang kita jalani, sebagai media pembelajaran bagi komunitas dan
bagi orang banyak kelak.
Dare to be Wise
0 komentar:
Posting Komentar