Tulisan ini terbit di Koran Tempo Makassar, rubrik Oleh-Oleh, 6/04/013
Sekilas, Barru hanyalah kabupaten
yang membosankan, dengan jalan panjang di antara laut dan bukit. Kita pun
kelelahan mengamati pasir pantai, rumah kayu, tambak dengan tanah kering
kerontang. Lantas, apakah ada hal lain? bagaimana dengan desa yang ada di balik
bukit terjal itu?
Senin, (18/03), saya, Arham dan
Noval dari Sulawesi Community Foundation (SCF) berkunjung ke Desa Bulo-Bulo,
Kecamatan Pujananting, untuk menerapkan PRA (Partispatory Rural Apraisal) atau
pengkajian desa secara partisipatif. Menuju bulo-Bulo, motor kami berbelok ke poros
pabrik Semen Tonasa di Bungoro Pangkep, menyusuri jalan berdebu, dilanjutkan
pendakian hingga batas pengerasan jalan yang berarti memasuki area Kab. Barru.
di pengerasan yang beralas potongan batu-batu inilah Anda mesti bersiap terpontang-panting
di atas kendaraan. Alhasil, kami mencapai Bulo-Bulo dari Bungoro selama dua jam
lebih.
Ketika masuk area desa, kita
dihidangkan dengan bentangan sawah hijau berundak-undak, semai ladang-ladang di
kejauhan bukit, sapi-sapi yang merumput
di tepi jalan. Sehari Anda mungkin merasa betah terbuai pesona alam, tapi
berlama-lama di desa ini Anda akan merasakan kegetiran yang menyesakkan.
Warga bulo-bulo tampak unik dari
warga Barru pada umumnya. Sebab desa ini dihuni oleh pengguna Bahasa Bentong,
bahasa yang kosakata-nya merupakan campuran bahasa Bugis dan Makassar. Sehingga kerap di sapa Suku Bentong.
Di Bulo-Bulo juga terdapat dua komunitas yang dianggap lain, yaitu komunitas Tobalo
(belang) di Dusun Labaka dan Komunitas rambut geriting/geribo di Dusun Maroanging.
Dua komunitas ini termarjinalkan dikarenakan stigma negatif yang dilekatkan
pada kelainan fisik mereka.
Warga Bulo-Bulo bertahun-tahun
hidup dalam keterbatasan layanan dan infrastruktur. Pengerasan jalan baru
tuntas pada tahun 2000. Sejak itu mobil mulai mendaki pelan ke Bulo-Bulo. Mobil
dapat masuk pada musim hujan baru pada tahun 2009. Namun, pada musim hujan
jalan bebatuan cukup licin dan jalan tanah liat yang seringkali longsor jika
hujan berlangsung lama.
Fasilitas sekolah pun belum lama
bertambah di Bulo-Bulo. Inilah sebabnya sebagian besar warga yang berusia di
atas 40 tahun masih buta huruf. Dan beberapa remaja mengalami putus sekolah.
Mereka ditakdirkan untuk setia menunggu
hujan untuk menebar benih. Sejak Oktober warga bersiap menanam jagung hingga
Desember. Dilanjutkan menanam padi pada Januari hingga April. Hasil ladang dan
sawah tak seberapa, sebab memang rata-rata penduduk memiliki lahan kurang dari satu
hektar. “Lahan satu hektar menghasilkan 15 karung gabah. Dalam satu karung itu
beratnya 70 kilogram,” ungkap Rustang, Sekretaris Desa. itu pun terjadi di Dusun
Lappatemmu yang lahannya cendrung datar dan masih terdapat pasokan air
dari aliran sungai. Mereka masih mampu
menyisakan gabah untuk dijual ke pasar.
Namun warga desa yang mengolah
lahan di ladang dengan kemiringan curam, seperti dusun Maroanging dan Rumpiae,
jangan terlalu berharap banyak. Ladang mereka sangat bergantung pada cuaca.
Terkadang padi yang sudah menguning dengan segera kering akibat dalam dua pekan
hujan tak turun. Beruntung jika sempat panen, hasilnya hanya untuk memenuhi
kebutuhan karbohidrat keluarga dalam setahun.
Sementara pada musim kemarau
lahan tidak dapat digarap akibat berkurangnya air di sungai dan tak adanya mata
air di bukit. Warga mensiasatinya dengan bermigrasi ke daerah lain. Ada yang Pangkep,
kota Barru, Palopo, hingga ke Kalimantan Timur, Kolaka. Di sana mereka mengolah
cokelat, sawah, dan cengkeh. “Di Maroanging sudah ada 50 orang yang merantau.
Mereka merantau biasanya pada bulan Mei atau masuk musim kemarau dan kembali
pada bulan November,” ujar Rustang, Kepala Dusun Maroanging.
Banyak juga yang ke Malaysia,
mereka bekerja sebagai buruh perkebunan sawit. Biasanya mereka menetap selama dua
sampai lima tahun. Ketika pulang mereka biasanya langsung mendirikan rumah dan
membuka lahan baru. Mereka pun menambah investasi ekonomi desa.
Begitulah warga mensiasati keterbatasan
geografis tempat hidupnya. kini mereka pun disibukkan untuk menjaga bagi hutan
setiap malam. Kalau tak dijaga, babi itu bisa merusak padi dan jagung.
Sepertinya daerah teritorial babi sudah terusik dengan melebarnya ladang di
lereng-lereng.
Ya, setidaknya dengan berkunjung
ke sana, kita mulai paham kenapa ketersediaan air itu begitu penting, cuaca
begitu berperan, dan lingkungan mesti dilestarikan. Agar babi tidak berkeliaran
di lahan-lahan kita.
0 komentar:
Posting Komentar