semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Komoditas Unggulan

Saya teringat cerita Kak Asdar Marsuki tentang Hiramatsu, Pensiunan kementerian Jepang, yang kembali ke kampungnya, Desa Oyama-Okinawa, dengan semangat membara. Ingin membawa perubahan.
Awalnya, dia turut membantu program pemerintah, dalam bentuk bagi-bagi benih padi. Namun, lama kemudian dia melihat bahwa padi bukan solusi terhadap permasalahan kemiskinan di desanya. Sebab, kualitas tanah di desanya tidak cocok untuk berkembangnya benih padi.
Maka, Hiramatsu bersama beberapa anak muda di kampungya mulai melakukan identifikasi terhadap komoditas-komoditas yang cocok untuk dikembangkan di desanya. Akhirnya ditemukan 130 komoditas yang diusahakan warga desa. Dari 130 itu, ia bersama warganya pun meneliti komoditas apa yang paling cocok untuk dikembangkan di desanya, dan dapat mensejahterahkan warga. Yang sebelumnya terkurung dalam kemelaratan, lantaran rendahnya produktivitas desa, dan merosotnya semangat warga untuk maju.
Ditemukanlah komoditas kunci, yaitu chesnut dan plum, yang lebih cocok dengan tanah dan iklim di Oyama. Hiramatsu bersama anak muda Oyama lalu mengumpulkan warga desa di Juku, semacam rumah tempat musyawarah, untuk mendiskusikan pengembangan komoditas chesnut dan plum, dan berupaya meyakinkan warganya bahwa dengan fokus pada chesnut dan plum, nasib warga dapat berubah.
Setelah bergerilya panjang, akhirnya warga Oyama menerima dan ingin mengembangkan chesnut dan plum. Hiramatsu pun mendorong penelitian untuk peningkatan kuantitas dan kualitas produk. Serta mengorganisir penjualan dan promosi. Sehingga, jika berbicara chesnut dan plum, orang Jepang akan mengingat Oyama. Warga desa lalu membentuk koperasi desa, mengembangkan kemasan produk, serta memanfaatkan jejaring untuk penjualan, hingga chesnut dan plum Oyama dapat diperoleh di mana saja, di supermarket-supermarket, di toko-toko tempat pemberhentian kereta api. Akhirnya, ekonomi warga desa meningkat, mereka dapat mengisi hari liburnya dengan berkunjung ke Hawai, dapat menyekolahkan anak-anaknya ke universitas-universitas terbaik di Jepang.
**
Bercermin dari kisah Hiramatsu dan Desa Oyama, apakah kita bisa melakukan hal yang sama di daerah kita masing-masing? Ya kita bisa. Apa yang tidak bisa di dunia ini. Kata tumming, dunia ji ini.
Namun, kadang-kadang kita tidak sabar untuk melihat hasil. Kita seperti dikejar-kejar oleh masa depan. Kita tak begitu menghargai proses, bahwa segala sesuatu berdasarkan perencanaan, yang disusun oleh pengamatan objektif, relevansi, dan pertimbangan solidaritas sosial dalam kawasan.
Akhirnya kita digembosi oleh pihak-pihak yang punya kepentingan dan memang bertujuan untuk memperoleh keuntungan semata-mata. Namun, tidak memperdulikan masa depan kawasan.


Misalnya, kawasan yang sudah dianggap sebagai lumbung windu, dengan sebab-sebab tertentu, akhirnya mulai tergantikan oleh komoditas udang yang lain, yang jika telah dikuasai teknologinya, padat tebar semakin banyak, dan akhirnya semakin mencemari perairan kawasan, dan akan berdampak buruk bagi pertambakan kawasan itu sendiri.
Untuk itu, sebelum praktek tersebut berlarut-larut, harus ada strategi untuk menguatkan teknologi udang windu itu sendiri. Karena Udang windu dianggap lebih bersahabat terhadap keberlanjutan usaha dalam satu kawasan. Udang windu memiliki harga yang pantas dan dapat dinegosiasikan lagi untuk peningkatan kesejahteraan. Udang windu diterapkan secara tradisional, yang tidak menggunakan pakan dan dapat mengantisipasi pencemaran, sesuai dengan kultur pengetahuan masyarakat setempat yang telah dibangun bertahun-tahun. Apalagi, jika kawasan itu punya kelebihan-kelebihan khusus, seperti tersedianya pakan alami yang endemik.
Hanya saja, kendala udang windu adalah tidak bisa dipanen dalam tempo cepat, sebab udang baru mendapat harga ketika ukuran agak besar, yaitu 40 ekor/kg, yang mesti memakan waktu pemeliharaan 3 bulan. Sedangkan, udang vannamei dapat dipanen pada usia dini, karena udang ukuran kecil sudah mendapat harga.
Poin utama yang harus dipikirkan bersama-sama, yaitu bagaimana menyusun strategi kawasan, strategi kelompok bersama, untuk mengantisipasi musim penyakit pada budidaya udang windu. Yang mana saat ini, petambak semakin sulit mendeteksi musim-musim yang baik untuk budidaya udang, lantaran anomali cuaca. Meski, pada umumnya penyakit muncul ketika terjadinya fluktuasi suhu, serta curah hujan yang tidak menentu. Tak dapat dipungkiri, musim penyakit inilah yang menjadi pintu masuk penggantian komoditas, dan adanya anggapan bahwa komoditas yang satu dapat bertahan dari terjangan penyakit. `Walaupun dalam kenyataannya, banyak juga yang gagal dalam budidaya vannamei. Entah disebabkan oleh kelemahan dari segi manajemen, maupun karena kuatnya tekanan perubahan kualitas lingkungan.
Baik windu maupun vannamei, rata-rata petambak di sana masih kebingungan mengenai penyebab penyakit, mereka hanya menyebutkan, kondisi ekstrim, hujan, lalu udang tiba-tiba mati. Menurut Dr. Muharijadi, pakar patologi udang dari BPPBAP Maros, kematian udang bisa disebabkan oleh kondisi tanah yang sudah mengandung sulfat masam yang tinggi, atau istilahnya sulfat masam berpasir, lalu tambak diguyur hujan, yang mana kandungan phyrit yang ada di pematang tambak juga jatuh ke perairan tambak. Makanya, pada saat sebelum hujan, pematang tambak harus ditaburi kapur, serta perairan tambak harus ditaburi kapur, yang lebih baik lagi jika menggunakan kapur dolomit. Namun, kondisi di lapangan, petambak banyak yang tidak memiliki akses terhadap kapur dolomit, serta mereka belum terbiasa dalam penggunaan kapur. Selain itu, kapur dianggap tidak cocok atau dapat menghambat pertumbuhan pakan alami lokal, yaitu phronima.
Penelitian akan penyebab penyakit ini sangat penting, dengan melihat banyak faktor, mulai dari kondisi induk dan benur udang, kondisi kualitas perairan, yang sebenarnya dapat melibatkan pihak-pihak terkait untuk melakukan kontrol lingkungan, seperti balai penelitian maupun balai karantina untuk memotret kondisi bakteri dan virus yang berada dalam air dan tanah. Selain itu, mesti ada penelitian mengenai kondisi arus perairan setempat, yang dapat mempengaruhi pencucian limbah tambak. Agar limbah yang telah berkembang bakteri negatif di dalamnya, digunakan kembali oleh para petambak saat pemasukan air ke dalam tambak. Menurut Dr. Khusnul Yaqin, penting dilakukan rehabilitasi mangrove di lokasi tersebut, sebab mangrove dapat menjadi penangkap vibrio atau bersifat bakterisida.
Poin kedua yaitu memberi contoh praktek budidaya udang yang lebih tahan terhadap terjangan penyakit, dengan memperhatikan kualitas air yang masuk ke dalam petak tambak, kualitas dasar perairan. Dimana rata-rata petambak tradisional, belum begitu memperhatikan pengaruh dari perbaikan konstruksi tambak, khususnya pengangkatan lumpur hitam dan pengeringan tambak. Hal ini bertentangan lagi dengan konsep penggunaan phronima, karena pengeringan dan pengangkatan lumpur yang memakan waktu, dapat menunda pertumbuhan phronima. Sementara para petambak merasa, hal itu dapat menunda pelaksanaan budidaya udang untuk siklus berikutnya. Untuk itu, perlu dilakukan pengangkatan lumpur, minimal sekali dalam setahun, untuk mereduksi amoniak dan racun organik yang dapat membunuh udang. Perbaikan konstruksi tambak ini dapat diiringi dengan inovasi perbaikan tanah tambak, seperti penggunaan pupuk organik, seperti pupuk cascing (kotoran cacing). Selain itu, praktek tambak percontohan, harus merupakan agenda bersama dalam kelompok, jika praktek itu merupakan program kelompok, maka rasa kepemilikan lebih tinggi bagi anggota kelompok, dan akan membangun kembali rasa persaudaraan dalam mencari solusi dari permasalahan bersama.
Poin ketiga, fasilitasi persoalan pengelolaan tanah oleh petambak, yang rata-rata merupakan tambak sewa. Hal ini yang mendorong para petambak untuk tidak melakukan persiapan tambak yang baik, karena merasa dikejar oleh waktu penggunaan lahan. Selain itu, adanya aktivitas budidaya bandeng bersama udang (polikultur) untuk mengejar akumulasi ekonomi, yang menyebabkan para pembudidaya tidak begitu memperhatikan perbaikan konstruksi tambak. Sebab, panen udang dalam satu siklus, tidak diiringi dengan pengeringan tambak, tapi dilanjutkan dengan penebaran benur untuk siklus berikutnya, hal ini dikarenakan masih adanya bandeng dalam tambak. Di samping itu, karena ini tanah sewa, masih ada anggapan bahwa mereka tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan pembalikan tanah dan pengangkatan lumpur.
**
Ketika hal-hal tersebut menjadi perhatian kita bersama, serta menjadi gerakan kita bersama. Maka, kita dapat berkonsentrasi untuk saling berbagi peran dalam pengembangan komoditas unggulan, untuk meningkatkan kuantitas yang terukur, yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, serta terjaganya kualitas produk. Sehingga, kita dapat mempromosikan kawasan tersebut menjadi kawasan produk unggulan, dan akhirnya diterima oleh pasar, yang kemudian akan direspon dengan tawaran harga yang lebih tinggi.
Selain itu, penelitian-penelitian terus dilakukan, dimana yang meneliti adalah masyarakat itu sendiri, yang dilatih dengan pemahaman dasar-dasar budidaya/filosofi aquaculture, penelitian-penelitian ini akan melahirkan inovasi-inovasi dan sumber-sumber ekonomi baru, yang tetap memperhatikan aspek keberlanjutan usaha, berbasis kualitas lingkungan yang terjaga.
Jika kita konsisten mengawal hal ini, harapannya, kawasan budidaya tersebut dapat dikembangkan produk-produk lain yang mendukung, serta penerapan kawasan berbasis pengetahuan, berbasis budaya, serta berwawasan lingkungan. Sehingga, dapat menjadi kawasan tempat belajarnya pihak-pihak yang ingin mengembangkan daerahnya masing-masing menjadi kawasan yang bernilai ekonomi, menjaga solidaritas sosial, kearifan budaya, serta terjaganya lingkungan.






0 komentar:

Komoditas Unggulan